Beranda | Artikel
Hakikat Kalimat Tauhid [Bagian 7]
Sabtu, 9 Februari 2013

Pilar-Pilar Ibadah

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Ibadah dibangun di atas dua perkara; cinta dan pengagungan. Dengan rasa cinta maka seorang akan berjuang menggapai keridhaan sesembahannya (Allah). Dengan pengagungan maka seorang akan menjauhi dari terjerumus dalam kedurhakaan kepada-Nya. Karena kamu mengagungkan-Nya maka kamu pun merasa takut kepada-Nya. Dan karena kamu mencintai-Nya, maka kamu pun berharap dan mencari keridhaan-Nya.” (lihat asy-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zaad al-Mustaqni’ [1/9] cet. Mu’assasah Aasam)

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Ibadah yang diperintahkan itu mengandung perendahan diri dan kecintaan. Ibadah ini ditopang oleh tiga pilar; cinta, harap, dan takut. Ketiga pilar ini harus berpadu. Barangsiapa yang hanya bergantung kepada salah satunya maka dia belum beribadah kepada Allah dengan benar. Beribadah kepada Allah dengan modal cinta saja adalah metode kaum Sufi. Beribadah kepada-Nya dengan rasa harap semata adalah metode kaum Murji’ah. Adapun beribadah kepada-Nya dengan modal rasa takut belaka, maka ini adalah jalannya kaum Khawarij.” (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 35 cet. Dar Ibnu Khuzaimah)

Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah berkata, “Patut dimengerti, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang meninggalkan ibadah kepada Allah melainkan dia condong beribadah kepada selain Allah. Mungkin orang itu tidak tampak memuja patung atau berhala. Tidak tampak memuja matahari dan bulan. Akan tetapi, sebenarnya dia sedang menyembah hawa nafsu yang menjajah hatinya sehingga memalingkannya dari beribadah kepada Allah.” (lihat Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 147)

Syarat Diterimanya Ibadah

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabb-nya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabb-nya dengan sesuatu apapun.” (QS. Al-Kahfi: 110).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan bahwa amal salih ialah amalan yang sesuai dengan syari’at Allah, sedangkan tidak mempersekutukan Allah maksudnya adalah amalan yang diniatkan untuk mencari wajah Allah (ikhlas), inilah dua rukun amal yang akan diterima di sisi-Nya (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [5/154] cet. al-Maktabah at-Taufiqiyah)

Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Sesungguhnya amalan jika ikhlas namun tidak benar maka tidak akan diterima. Demikian pula apabila amalan itu benar tapi tidak ikhlas juga tidak diterima sampai ia ikhlas dan benar. Ikhlas itu jika diperuntukkan bagi Allah, sedangkan benar jika berada di atas Sunnah/tuntunan.” (lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 19 cet. Dar al-Hadits).

Oleh sebab itu, seorang muslim tidak akan rela mempersembahkan ibadah apa pun kepada selain Allah, entah itu sholat, sembelihan, ataupun ibadah yang lain. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Sesungguhnya sholatku, sembelihanku, hidup dan matiku, adalah untuk Allah Tuhan seru sekalian alam, tiada sekutu bagi-Nya. Itulah yang diperintahkan kepadaku, dan aku termasuk orang yang pertama-tama pasrah.” (QS. al-An’am: 162-163).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah tabaraka wa ta’ala berfirman, ‘Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang di dalamnya dia mempersekutukan selain-Ku bersama diri-Ku maka Kutinggalkan dia bersama kesyirikannya.” (HR. Muslim)

Dari Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap amal dinilai dengan niat. Dan setiap orang akan mendapat balasan sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia yang ingin dia dapatkan atau karena wanita yang ingin dia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan betapa pentingnya niat dalam kehidupan seorang muslim. Ia laksana ruh bagi tubuhnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Innamal a’maalu bin niyaat adalah kalimat yang komprehensif dan sempurna, sebab niat bagi amalan laksana ruh bagi jasad.” (lihat Dhawabith wa Fiqh Da’wah ‘inda Syaikhil Islam, hal. 106)

Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu’anhu, beliau menceritakan bahwa dahulu ada seorang lelaki yang datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu dia bertanya, “Ada orang yang berperang untuk fanatisme kelompok, berperang untuk menunjukkan keberanian, dan berperang untuk mendapat pujian. Manakah diantara itu semua yang berada di jalan Allah?”. Maka beliau menjawab, “Barangsiapa yang berperang demi meninggikan kalimat Allah, maka itulah yang berjihad di jalan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Abdurrahman bin Yazid, dari Salman radhiyallahu’anhu. Dia (Abdurrahman) berkata: Ada orang –dalam riwayat lain disebutkan bahwa mereka adalah orang-orang musyrik- yang berkata kepada Salman, “Nabi kalian –shallallahu ‘alaihi wa sallam– telah mengajarkan segalanya, sampai urusan tata cara buang air sekalipun.” Abdurrahman berkata: Maka dia (Salman) pun menjawab, “Ya, benar. Beliau melarang kami menghadap kiblat ketika buang air besar atau buang air kecil. Beliau juga melarang kami cebok dengan tangan kanan atau istinja’ dengan batu yang jumlahnya kurang dari tiga batu. Beliau pun melarang kami istinja’ dengan kotoran binatang atau tulang.” (HR. Muslim)

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, hadits yang agung ini merupakan salah satu dalil yang menunjukkan kesempurnaan ajaran Islam. Bahkan, musuh-musuh Islam pun mengakui hal itu, walaupun mereka tidak menyukainya. Mereka tidak sanggup menyembunyikan keheranan dan kekaguman mereka terhadap ajaran yang diturunkan dari sisi Rabb alam semesta ini. Ajaran yang demikian lengkap dan sempurna. Ajaran yang tidak meninggalkan masalah kecil dan yang besar di dalam lembaran kehidupan melainkan telah ada aturannya. Aturan yang diajarkan bagi setiap muslim guna menjalani hidupnya, semenjak hari ia dilahirkan, hingga pada saat ia diletakkan di liang kubur (lihat al-Bid’ah wa Atsaruha as-Sayyi’ fi al-Ummah karya Syaikh Salim al-Hilali, hal. 14)

Dari Ummul Mukminin Ummu Abdillah ‘Aisyah radhiyallahu’anha beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengada-adakan suatu perkara di dalam urusan [agama] kami ini yang bukan berasal darinya, maka ia pasti tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim). Di dalam riwayat Muslim, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka ia pasti tertolak.”

Ibnul Majisyun berkata: Aku pernah mendengar Malik berkata, “Barangsiapa yang mengada-adakan di dalam Islam suatu bid’ah yang dia anggap baik (baca: bid’ah hasanah), maka sesungguhnya dia telah menuduh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhianati risalah. Sebab Allah berfirman (yang artinya), “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian.” Apa-apa yang pada hari itu bukan termasuk ajaran agama, maka hari ini hal itu bukan termasuk agama.” (lihat al-I’tisham, [1/64-65])

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Pokok-pokok as-Sunnah dalam pandangan kami adalah berpegang teguh dengan apa-apa yang diyakini oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, meneladani mereka dan meninggalkan bid’ah-bid’ah. Kami meyakini bahwa semua bid’ah adalah sesat.” (lihat ‘Aqa’id A’immah as-Salaf, hal. 19)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Simpul pokok ajaran agama ada dua: kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan kita beribadah kepada-Nya hanya dengan syari’at-Nya. Kita tidak beribadah kepada-Nya dengan bid’ah-bid’ah. Hal itu sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan sesuatupun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (QS. al-Kahfi: 110).” (lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 87)

Kedudukan Aqidah Tauhid Di Dalam Islam

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga perkara; barangsiapa yang ketiga hal itu ada pada dirinya niscaya dia akan merasakan manisnya iman. Orang yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya daripada selain keduanya. Dia mencintai seseorang semata-mata karena kecintaannya kepada Allah. Dia tidak suka kembali kepada kekafiran setelah Allah selamatkan dia darinya, sebagaimana dia tidak suka dilemparkan ke dalam kobaran api.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga perkara, barangsiapa yang ketiga hal itu ada pada dirinya niscaya dia akan merasakan manisnya iman dan kelezatannya. Yaitu apabila Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya lebih dicintainya daripada selain keduanya. Dia mencintai karena Allah dan membenci juga karena Allah. Dan tatkala dia lebih suka untuk dilemparkan ke dalam kobaran api yang menyala-nyala daripada harus mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun.” (HR. Nasa’i, disahihkan Syaikh al-Albani)

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama -semoga Allah merahmati mereka- mengatakan bahwa makna manisnya iman adalah kelezatan di saat melakukan ketaatan dan sanggup menanggung berbagai kesulitan demi menggapai keridhaan Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam serta lebih mengutamakan itu di atas kesenangan dunia. Kecintaan seorang hamba kepada Rabbnya subhanahu wa ta’ala adalah dengan taat kepada-Nya dan tidak membangkang kepada-Nya. Serupa dengannya adalah kecintaan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (lihat Syarh Muslim [2/96]).

Imam Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Maka barangsiapa yang terjerumus dalam kemaksiatan baik berupa melakukan perbuatan yang diharamkan atau meninggalkan kewajiban maka itu terjadi dikarenakan rendahnya kecintaan kepada Allah sehingga membuatnya lebih mendahulukan hawa nafsunya.” (lihat Fath al-Bari [1/78])

Kelezatan iman inilah yang akan mengokohkan pijakan keislaman seorang hamba. Sehingga dia tidak akan goyah karena iming-iming dunia atau ancaman senjata. Heraklius berkata kepada Abu Sufyan, “Aku pun bertanya kepadamu mengenai apakah ada diantara mereka -pengikut nabi- yang murtad karena marah terhadap ajaran agamanya setelah dia masuk ke dalamnya? Kamu menjawab, tidak ada. Maka demikian itulah yang terjadi apabila kelezatan iman telah merasuk dan teresap di dalam hati.”(HR. Bukhari dan Muslim)

Imam Ibnu Baththal rahimahullah mengatakan, “Adapun pertanyaan yang diajukan mengenai kemurtadan pengikutnya. Latar belakangnya adalah bahwa orang yang masuk (agama) tanpa dilandasi dengan bashirah/ilmu tentangnya niscaya ia akan mudah untuk kembali (murtad) dan goyah. Adapun orang yang masuk -ke dalam Islam- dengan landasan ilmu dan keyakinan yang benar maka hal itu akan menghalanginya dari kemurtadan.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal [1/46])

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Aqidah tauhid ini merupakan asas agama. Semua perintah dan larangan, segala bentuk ibadah dan ketaatan, semuanya harus dilandasi dengan akidah tauhid. Tauhid inilah yang menjadi kandungan dari syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah. Dua kalimat syahadat yang merupakan rukun Islam yang pertama. Maka, tidaklah sah suatu amal atau ibadah apapun, tidaklah ada orang yang bisa selamat dari neraka dan bisa masuk surga, kecuali apabila dia mewujudkan tauhid ini dan meluruskan aqidahnya.” (lihat Ia’nat al-Mustafid bi Syarh Kitab at-Tauhid [1/17] cet. Mu’assasah ar-Risalah)

Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah menerangkan, bahwa kedudukan aqidah bagi ilmu-ilmu maupun amal-amal yang lain laksana pondasi bagi sebuah bangunan. Laksana pokok bagi sebatang pohon. Sebagaimana halnya sebuah bangunan tidak bisa berdiri tanpa pondasi dan pohon tidak akan tegak tanpa pokok-pokoknya, maka demikian pula amal dan ilmu yang dimiliki seseorang tidak akan bermanfaat tanpa aqidah yang lurus. Oleh sebab itu perhatian kepada masalah aqidah harus lebih diutamakan daripada perhatian kepada masalah-masalah apapun; apakah itu kebutuhan makanan, minuman, atau pakaian. Karena aqidah itulah yang akan memberikan kepada seorang mukmin kehidupan yang sejati, yang dengannya jiwanya akan menjadi bersih, yang dengannya amalnya menjadi benar, yang dengannya ketaatan bisa diterima, dan dengan sebab itu pula derajatnya akan semakin meninggi di hadapan Allah ‘azza wa jalla (lihat mukadimah Tadzkiratul Mu’tasi Syarh Aqidah al-Hafizh Abdul Ghani al-Maqdisi, hal. 8 cet. I, 1424 H)


Artikel asli: http://abumushlih.com/hakikat-kalimat-tauhid-bagian-7.html/